Jumat, 11 Oktober 2019

                        Kriteria Pertukaran Sinonim Berdasarkan                                           Analitisitas W. V. Quine

 Servasius Haryono

Filsafat Analitik

 

Kemampuan dipertukarkan ialah persoalan yang dialami Quine dalam menganalisis dan menyelidiki dinamika pengertian sinonim yang hendak dianalisisnya. Lebih jauh dari proses mencari dasar dari interchangeability[1] masih terus digali lebih dalam oleh Quine sebagai esensi melalui penjelasan tentang sinonim.

Quine menekankan bahwa penjelasan untuk menemukan problem tentang sinonim meski mengandaikan dengan memahami analitisitas dalam kerangka mencari bagaimana interchangeability itu dapat digali secara logis dan benar. Oleh karena itu, agar dapat menemukan bagaimana analitisitas lewat sinonim itu dapat diuraikan dengan berbagai jalan yang diandaikan dapat memecahkannya, di sinilah dapat diperjelas ketika analitisitas itu sudah jelas untuk diterima dan dianalisis.

 

Problem  Interchangeability

Pendasaran penjelasan tentang sinonim yang dikemukakan dan diselidiki Quine mengarah dan memusatkan perhatiannya pada kemampuan dipertukarkan  (interchangeability). Secara lebih mendalam Quine memahaminya melalui istilah yang digunakan oleh Liebniz, yaitu kemampuan dipertukarkan salva veritate (interchangeability salva veritate) sebagai kemampuan dipertukarkan yang dapat berlaku pada semua konteks tanpa menyebabkan perubahan dalam nilai kebenarannya. Bagi Quine pemakaian istilah itu masih dapat dipertanyakan bagaimana mungkin kemampuan dipertukarkan itu dapat menjadi sebuah persyaratan yang memadai terhadap dua kata yang dapat disebut sebagai sinonim.

Persoalan sinonim semacam inilah yang masih digali lebih dalam oleh Quine, yaitu apakah dua kata yang dianggap sinonim itu justru mampu untuk dipertukarkan. Jika ya, nampaknya jawaban ini justru mengakibatkan suatu permasalahan. Sebagaimana biasa digunakan Quine tentang kata bachelor dan unmarried man yang biasanya disebut sinonim, tetapi dua kata tersebut justru tidak dapat saling dipertukarkan di segala kesempatan.

Seandainya analisis dipertukarkan ini ada dalam sebuah pernyataan “Yewen is a bachelor”. Terlihat dari kata bachelor memang dapat diganti dengan unmarried man tanpa mengalih atau mengubah kebenaran yang terkandung di dalamnya. Akan tetapi, bila pernyataan itu “Yewen is a bachelor of art,” maka kata “bachelor” di sini tentu tidak dapat diubah menjadi unmarried man.

Apakah penggunaan kedua kata itu masih mungkin dapat dipertukarkan? Atau misalkan dalam kalimat “Bachelor is less than ten letters,” menggantinya menjadi “Unmarried man is less than ten letters” nampak keduanya justru tidak sesuai dan bahkan ketidaksesuaian itu makin mengubah nilai kebenarannya. Namun, problem ini dapat segera diatasi semata dengan menganggap kata-kata seperti bachelor of art sebagai kata utuh yang berdiri sendiri sehingga kata bachelor sebagai bagian dalam kata itu tidak dapat disamakan dengan bachelor yang merupakan kata utuh dan berdiri sendiri.[2]

Analisis selanjutnya menekankan bagaimana Quine sendiri nampak tidak berminat dengan permainan dan gaya pembahasan kata seperti itu, tetapi ia lebih terpesona dengan yang disebutnya sebagai sinonim kognitif. Quine menjelaskan bahwa dua kata dapat disebut bersinonim kognitif apabila ketika dimasukkan ke dalam bentuk Semua dan hanya X adalah Y dapat menjadi pernyataan analitik. Quine lebih dalam melihat bahwa dengan mengatakan bujangan dan orang yang tidak menikah adalah sinonim kognitif. Dalam hal ini juga berarti mengatakan bahwa pernyataan “semua dan hanya bujangan adalah orang yang tidak menikah” oleh Quine adalah sebuah pernyataan analitik. Tetapi, hal ini menunjukkan bahwa untuk memahami sinonim kognitif semestinya sudah harus terang terlebih dahulu tentang analitisitas, padahal usaha Quine adalah sebaliknya.[3]

Tawaran dalam Analitisitas Quine

Menyikapi persoalan memahami sinonim dalam kedua kata itu nampaknya akan memperjelas bagaimana Quine mencoba melihatnya dengan alternatif lain guna menjelaskan sinonim kognitif dengan kemampuan dipertukarkan (interchangeability) tersebut. Di sinilah Quine lebih mencari jawaban tentang apakah kemampuan dipertukarkan itu menjadi syarat yang mendasar bagi dua kata yan dapat disebut sebagai sinonimi kognitif sehingga tidak perlu lagi mengandaikan analitisitasnya.

 

Nampaknya Quine memberi keterangan dalam jawabannya melalui dan menempatkan kata necessarily di depan kalimat. Misalkan saja contoh kalimatnya demikian: Necessarily, all and only bachelors are bachelors.” Kalimat tersebut benar secara mutlak karena mengandung kebenaran logis. Kemudian, andai kata bachelor dan unmarried man itu dapat dipertukarkan, maka kalimat “Necessarily, all and only bachelors are unmarried men” itu juga benar. Tetapi, perlu digali lebih dalam bahwa apabila menyebut kalimat yang belakangan ini benar, hal itu mengimplikasikan bahwa pernyataan “All and only bachelors are unmarried men” itu menjadi pernyataan analitik.

Sebab, kata necessarily hanya dapat memberikan kebenaran mutlak jika diikuti oleh pernyataan analitik. Kata necessarily sendiri justru membawa klaim bahwa suatu pernyataan secara logis benar, sehingga pernyataan yang dimaksud mutlak adalah sebuah analitik. Kembali lagi, Quine menemui masalah yang sama, justru analitisitas perlu diandaikan terlebih dahulu untuk menjelaskan sinonim kognitif ketimbang menggunakan penjelasan tentang sinonim kognitif untuk menyelidiki analitisitasnya.

            Kelanjutan analisis tentang kriteria pertukaran sinonim ini memerlukan cakupan extensional bahasa (extensional language)[4] yang mampu mempertimbangkan valid dan tidaknya tawaran yang Quine sampaikan.  Hal ini justru menekankan jaminan logis dari jenis sinonim kognitif yang ingin ditunjukkan analitisitasnya. Implikasi necessarily yang diajukan Quine masih akan dipertanyakan lagi guna memiliki kriteria yang cukup untuk menampilkan sinonim kognitif yang sudah dipahami dalam analitik Quine sendiri.

            Usaha untuk mengakui penjelasan sinonim kognitif Quine, tentunya terlebih dahulu mengakui kebenaran pernyataan analitik yang diuraikannya dan menjadi sebuah putusan logis dan benar. Sebagaimana Quine sendiri menjelaskan bahwa necessarily telah mengandaikan analitisitas dan nampakya hal itu akan memadai dengan memposisikan necessarily itu di depan kalimatnya. 

            Quine lebih jauh menjelaskan bahwa untuk sampai pada pernyataan yang mampu menjangkau pada keputusan dalam sinonim kognitif antara “bachelor” dan “unmarried man,” tentunya menggunakan istilah tunggal yang dapat diakomodasi dengan cara yang identik secara kognitif dapat dibentuk dari syarat-syaratnya. Oleh karena itu, apabila hendak menggabungkan semua kategori dan diformulasi dalam sebuah kalimat, maka hal itu justru mengorbankan asumsi gagasan “kata” untuk menjelaskan sinonim kognitif dan menjadi sebuah putusan analitik.

            Quine memperlihatkan bahwa agar dapat memperjelaskan dua bentuk linguistik sebagai sebuah sinonim kognitif yang  terkandung dalam salva (dan diasumsikan bukan sebagai varitate)  melainkan analyticitate yang justru dapat dipertukarkan.[5]   

            Dalam pertanyaan teknis yang digunakan itu tentu terdapat kasus-kasus ambiguitas atau homonimi. Maka dari itu, janganlah kita hanya berhenti pada taraf tersebut yang dapat melenceng melainkan kita saling berpaling pada masalah-masalah sinonimi dan mengatasi diri kita sendiri dengan analitisitas.

  

Sumber:

         Quine, Willard V. “Two Dogmas of  Empiricism.  Dalam A. P. Martinich (ed). The Philosophy of  Languange.   New York: Oxford University Press. 1996.



[1] Willard V. Quine, “Two Dogmas of  Empiricism.  Dalam A. P. Martinich (ed). The Philosophy of  Languange.   New York: Oxford University Press. 1996, 43.

[2] Willard V. Quine,  “Two Dogmas of  Empiricism,”  43.

[3] Willard V. Quine,  “Two Dogmas of  Empiricism,”  43.

[4] Willard V. Quine,  “Two Dogmas of  Empiricism,”  44.

[5] Willard V. Quine,  “Two Dogmas of  Empiricism,”  45.

Kamis, 17 Januari 2019

Cinta Yang Tertidur

pensieriCinta Yang Tertidur
(Azist Haryono) 
Kisahku mulai merunduk,
Meredup hampir terkulai
langkahku enggan berjejak, dan
Kepada siapa aku titipkan tangan ini?

Telapakku memberontak, mengingat bekas tanganmu
meraba kembali tubuhku
mengingat kenangan yang hancur. 
Adakalanya kamu mengisi bola mataku.

Pada dinding kaca HP ini aku mengelus wajahmu 
parasmu takkan bersahabat lagi
Yang ada hanya awan merunduk di wajahku

Terpenjara, aku diantara kerumunan khayalan
musimku bermahkotakan gelisah
Mengingat, setiaku sampai samudera mengering

Irama pelukanmu yang dulu hangat
Masih begitu manis menggodaku
Masih meracuni jiwaku yang terlampau hanyut.

Tak kusangka pelukanmu tak seperti dahulu
Adakah yang kasar oleh alunan perasaanku?
Sampai bila air mataku mengering
Aku masih di sini dalam asmaraku

Ahhh… betapa aku rindu menidurimu
Dari usia rinduku yang masih belia
Pesonamu ayu, wajahmu bagai salju
Meluluhlantakan hawaku.

Duka karena Rindu

Dibalik kukumu yang terawat bermotif
kupu-kupu menari menghiasi jarimu
dan mereka tunduk diwajahmu,
tempat setiap rindu menggumpal.
Pada sujud-ku, kamu menjadi bahan buat dibicarakan,

Kunikmati sayatannya, lukanya
Menggigit bibirku hingga memar
Kamu adalah gumpalan frasaku
Yang berberbentuk, hingga
Pada malam, kututurkan untuk pagi
Untuk mengisi siang-ku.

Kamu masih terus meremas kuku-mu
Menahan suaramu untuk bersikap manis padaku
di hadapanku kamu tumpah-ruahkan dirimu
hingga bahkan langit sudah tahu

kalau sujud-ku tak sebersih kuku-mu, wanitaku.

Rabu, 16 Januari 2019

Doa Pecinta Kesunyian

Just A Few Good People – So Which Blessings of Your Lord Will You ...
Protes, Larut, heningnya kata-kataku
Aku melantunkan teriakanku dalam lengang
Tak ada yang menoleh kearahku
Mereka tidak paham potensi duniaku
Aku lalu menyepi dan mulai memberontak
Kata-kataku tidak pernah tidur
Dan mulai bertanya
Masih adakah yang mendengarkanku?
Aku sudah kehabisan tenaga berteriak

Mulutku gaduh oleh teriakanku sendiri
Aku melengkungkan lidahku dan mencoba bersuara
Tapi, sekali-kali tenggorokanku menyedotnya 
Aku mulai terbujur kaku

Aliran daraku mulai berkecamuk
Terhadap suara yang tak kunjung datang
Terus dan terus bersemayam

SPIRITUALITAS MEJA MAKAN


SPIRITUALITAS MEJA MAKAN
(Azist Haryono)
“Makan masih tetap menjadi sesuatu yang lebih penting untuk menjaga fungsi-fungsi tubuh. Orang mungkin tidak mengerti apa ‘sesuatu yang lebih’ itu, tetapi mereka tetap ingin berhasrat untuk merayakannya. Mereka tetap lapar dan haus akan kehidupan sakramental”
( Norman Wirzba, Food and Faith: a Theology of Eating).

Meja makan itu diibaratkan sebagai teman yang mampu menampung curahan hati (curhat) setiap orang. Adakah yang tidak mengenal dan merasakan sentuhan betapa pengalaman di meja makan itu sangat berharga? Pengalaman ada bersama meja makan sungguh menarik untuk dihayati bahkan sampai seluruh meja tersebut terisi oleh berbagai kegiatan. Konteks untuk mengetahui keberadaan meja ini adalah sebuah gambaran berkaitan dengan kehidupan mengeluarga. Setiap keluarga tentu memiliki tempat yang khusus untuk menempatkan meja makan. Ada begitu banyak corak dan bentuk meja makan yang diinginkan oleh sebuah keluarga; ada yang bulat, lonjong, persegi pajang, dll. Semuanya ini menggambarkan bagaimana kehidupan keluarga itu dapat berjalan. Sebab, makanan yang tersedia di meja makan itu ialah kebutuhan mendasar bagi keberlangsungan hidup manusia.
Urusan makan memang kelihatan sederhana, terkesan hanya sebatas membicarakan urusan perut atau selera lidah bagi kebanyakan orang saat ini. Makan dan makanan sesungguhnya tidak hanya sekedar berurusan dengan jasmani, melainkan suatu bentuk yang indah untuk mengungkapkan bagaimana sebuah keluarga menyadari betapa pentingnya membangun suatu nilai kebersamaan di meja makan terutama membahas persoalan dalam keluarga tersebut. Selain itu, makna makan tersebut juga menjadi sebuah sarana untuk memuliakan Allah, menjalin relasi dengan Tuhan dan sesama, serta menjadi simbol dari kehadiran janji dan berkat Allah dalam kehidupan manusia.

PANDANGAN THOMAS AQUINAS TENTANG HUBUNGAN ALLAH DAN KOSMOLOGI


PANDANGAN THOMAS AQUINAS TENTANG HUBUNGAN ALLAH DAN KOSMOLOGI
 (SERVASIUS HARYONO)

Pengantar
Sejarah perkembangan filsafat maupun teologi ditandai dengan adanya pencarian dan pembuktian adanya Pengada tertinggi yang memberi penerangan kepada ciptaan. Ada begitu banyak teori atau aliran yang mewarnai perkembangan dunia pengetahuan sebagai pencapaian cara kerja akal budi manusia. Kemajuan itu mempengaruhi kehidupan masyarakat di dunia melalui cara berpikir yang logis untuk memahami sesuatu.
Seni untuk membuktikan dan menyingkapkan perpaduan antara teologi dan filsafat ialah Thomas Aquinas yang hidup pada abad pertengahan, yang dipengaruhi oleh pemikiran Aristoteles dan Agustinus (antara filsafat dan teologi). Perpaduan ajaran Aristoteles dan Kristiani bukanlah sesederhana yang dapat dibayangkan melainkan suatu usaha dalam keketatan pemikiran untuk memahami konsep dunia sebagai totalitas segala sesuatu yang bagi Aristoteles alam semesta tidak memiliki awal dan akhir yang justru sangat bertentangan dengan ajaran Kristiani. Thomas Aquinas merupakan filsuf dan teolog yang teguh dan sangat pandai menyatukan bidang teologi dan filsafat untuk membuktikan eksistensi Penyebab utama. Ia memberikan pencerahan tentang hubungan Allah dengan ciptaan, dan membedakan antara pengetahuan dan keimanan manusia.

Aryiani yang Tertidur pada Tubuhku


Aryiani, alam t'lah diam 
rinduku juga belum reda 
sunyilah asmaraku
Pekat rasanya merajut tentangmu.

Engkau sebegitu rahasia
serahasia tubuhmu, meski
dahagaku menyanyi pada tubuhmu
hingga memikat, melekat erat.

Kukisahkan padamu, Aryiani
kukemas tetes-tetes embun dipagi yang murni
kukisahkan hatiku, "aku kecewa dengan rinduku".

Malam makin pekat,
bintang masih merias, merekah indah,
datang mengunjugi jiwaku yang lelap
mengantarmu padaku 
Aryianiku……
pada teliganku kamu mendesah
Mengalahkan asmaraku
menelanjangkan wajahku
meminta gemolek tubuhmu.

Kamu terus meminta padaku 
Bercumbu, berguyur pada tubuhku
hingga memberanikan penasaranku
menyanyi pada polos tubuhmu

Akh…  betapa aku rindu menghiburmu.
Dari usia rinduku yang masih muda
Hatiku bertutur
Rinduku masih memuncak, sayang! 

(Azist Haryono)
(Bogor, 14 April 2017)

Love Without Someone

  Karena waktuku yang terlalu lama,  ataukah kerinduan yang terlalu dalam  semua dirasakan pada tangisan  yang tak pantas untuk diukur. Hati...