SPIRITUALITAS
MEJA MAKAN
(Azist
Haryono)
“Makan masih tetap menjadi sesuatu yang lebih penting untuk menjaga
fungsi-fungsi tubuh. Orang mungkin tidak mengerti apa ‘sesuatu yang lebih’ itu,
tetapi mereka tetap ingin berhasrat untuk merayakannya. Mereka tetap lapar dan haus
akan kehidupan sakramental”
(
Norman
Wirzba, Food and Faith: a Theology of Eating).
Meja
makan itu diibaratkan sebagai teman yang mampu menampung curahan hati (curhat)
setiap orang. Adakah yang tidak mengenal dan merasakan sentuhan betapa
pengalaman di meja makan itu sangat berharga? Pengalaman ada bersama meja makan
sungguh menarik untuk dihayati bahkan sampai seluruh meja tersebut terisi oleh berbagai
kegiatan. Konteks untuk mengetahui keberadaan meja ini adalah sebuah gambaran
berkaitan dengan kehidupan mengeluarga. Setiap keluarga tentu memiliki tempat
yang khusus untuk menempatkan meja
makan. Ada begitu banyak corak dan bentuk meja makan yang diinginkan oleh sebuah
keluarga; ada yang bulat, lonjong, persegi pajang, dll. Semuanya ini
menggambarkan bagaimana kehidupan keluarga itu dapat berjalan. Sebab, makanan
yang tersedia di meja makan itu ialah kebutuhan mendasar bagi keberlangsungan
hidup manusia.
Urusan
makan memang kelihatan sederhana,
terkesan hanya sebatas membicarakan urusan perut atau selera lidah bagi kebanyakan orang saat ini. Makan
dan makanan sesungguhnya tidak hanya sekedar berurusan dengan jasmani,
melainkan suatu bentuk yang indah untuk mengungkapkan bagaimana sebuah keluarga
menyadari betapa pentingnya membangun suatu nilai kebersamaan di meja makan
terutama membahas persoalan dalam keluarga tersebut. Selain itu, makna makan
tersebut juga menjadi sebuah sarana untuk memuliakan Allah, menjalin relasi
dengan Tuhan dan sesama, serta menjadi simbol dari kehadiran janji dan berkat
Allah dalam kehidupan manusia.
Sejak
ada dan berjalan bersama komunitas Xaverian, saya merasa pengalaman kebersamaan
untuk memupuk persaudaraan itu sangat kental dan sungguh terasa serta salah
satunya melalui “hidangan di meja makan.” Kami berasal dari berbagai
latarbelakang budaya, karakter, marga,
logat, warna kulit, namun di dalamnya saya justru menemukan suatu keunikan dari
perbedaan tersebut. Kami juga berasal dari daerah yang berbeda, ada yang berasal
dari Jawa, Sumatera Utara, Padang, Flores, Italy, Timor, dan Bali. Kehadiran
kami semua dalam komunitas Xaverian ini, didesak oleh suatu usaha dan
cita-cita, yaitu menjadi imam misionaris. Meskipun terdapat banyak perbedaan
diantara kami, hal itu bukan menjadi hambatan dalam berelasi. Apa yang mesti
kami bangun untuk menjamin kebersamaan sebagai satu keluarga ini? Salah satunya
melalui kebersamaan di meja makan.
Hampir
semua pengalaman sederhana baik yang bersangkutan dengan komunitas, Gereja,
kuliah, dan kerasulan dapat mensharingkannya bersama konfrater lain saat
berhadapan dengan “meja makan”. Kehadiran di meja makan ini dianggap sebagai
suatu menu tambahan yang tidak mengurangi kelezatanya dibandingkan masakan-masakan
lainnya. Saya sendiri merefleksikan ketika telah melewati kebersamaan saat menyantap
hidangan sebagai rahmat Tuhan di meja makan bahwa kadang-kadang di meja makan
itu segala bentuk problem atau
perasaan yang ngawur dapat
didiskusikan atau dibagikan kepada teman semeja. Di sini saya menemukan sebuah solusi, dan solusinya sangat mengena
dengan pengalaman di luar meja makan, mendengar suara orang yang sedang
tertawa, melatih untuk mendengarkan orang lain serta berbagai cara untuk
meningkatkan semangat kebersamaan sebagai satu keluarga. Ruangan yang
disediakan untuk meja makan itu cukup luas dan strategis, karena selain
mendengarkan pengalaman konfrater lain, kami juga dapat mendengar berbagai suara
yang muncul dari jalan raya. Di dalam ruangan itu terdapat tiga deretan meja
makan; meja bagian tengah adalah tempat untuk menyimpan makanan serta dua di
sampingnya digunakan untuk menyantap hidangan. Kami berpapasan dengan meja
makan setiap
hari. Dari meja inilah kami “keluar” untuk menabur rahmat Tuhan yang indah itu.
Menjadi
satu keluarga, kehidupan bersama dapat menjadi ajang untuk berbagi rasa dalam
kegembiraan dan kesusahan. Dalam kebersamaan itulah nampak pula kasih sayang
antarsaudara yang dapat menjelma dalam perhatian yang konkret, baik itu melalui
perkembangan maupun keunikannya sebagai seorang pribadi. Dalam hal ini semua
berpartisipasi menumbuhkan semangat mengeluarga dan mengungkapkan dirinya dalam
satu kesatuan sebagai komunitas, yaitu cinta kasih. Dalam pengharapan itu,
mesti memiliki sikap dan antusias berbagi
dalam segala hal seperti iman, pengalaman merasul, harapan, kegembiraan,
keprihatinan, harta rohani serta semangat misioner.
Memang
benar bahwa di dalam diri kami terdapat banyak perbedaan, akan tetapi di situ
kami melatih diri untuk memahami yang lain karena setiap individu itu kami
pandang sebagai saudara yang terbaik. Dengan menyadari hal itu, saya merasa
unsur keterbukaan dan saling pengertian dapat dihayati oleh setiap konfrater.
Untuk memperdalam rasa saling memahami sebagai satu keluarga, meja makan adalah
suatu tempat kami untuk saling melengkapi kekayaan yang kami miliki dengan
tujuan yang luhur, yaitu berbagi. Akan tetapi, saya justru menemukan suatu keheranan dan tanda tanya di benak saya, yaitu mengapa pembicaraan
di meja makan itu sangat mengasyikan? Adakah sumbangan khas yang berasal dari
meja makan, atau ia mempunyai daya tarik untuk mengantar kami menemukan
sukacita dan nilai persaudaraan? Atau mungkin meja itu dikategorikan sebagai “saksi”
dan “pendengar”
yang dapat dipercaya? Dan, mengapa komunitas ini menyediakan ruangan khusus
untuk meletakkan meja makan, mengapa juga keceriaan yang terjadi di meja makan
berbeda dengan keceriaan di ruangan/tempat lain?
Semua
pertanyaan yang mengalir ini tentu menggoncangkan perasaan saya. Meskipun
demikian, satu hal yang mengantar saya untuk menemukan jawaban atas pertanyaan
di meja makan, yaitu meja makan mempunyai power
yang menggairahkan, berbagi, tumbuhnya semangat persaudaraan, saling meneguhkan,
diskusi, mengucap syukur, berbagi suka-duka serta yang tak kalah nikmatnya
ialah menghayati kemurahan hati Allah yang ada di atas wajah meja makan
tersebut. Nampaknya ada satu semboyan yang mengikat relasi yang terjalin di
meja itu. Sejauh ini saya sendiri merasa sangat bersukacita ketika kehadiran
semua orang di meja makan menampakkan keceriaanya sendiri, baik yang kembali
dari tempat kerasulan, kuliah, dan yang sedang menyusun skripsi di rumah. Satu
hal yang sungguh mengikat ialah cita-cita untuk menjadi imam misionaris yang
sama, karena kami dibentuk untuk mengedepankan semangat kekeluargaan,
diantaranya melalui kehadiran di meja makan.
Meja makan adalah suatu titik temu favorit bagi sebuah
keluarga. Ini merupakan tempat di mana
terdapat rasa berbagi. Saat makan juga bisa menjadi ajang
diskusi keluarga untuk memutuskan suatu tujuan
atau sekedar ngobrol tentang
hal-hal yang ringan. Oleh karena itu, makan bersama sebagai satu keluarga
sangatlah indah dan kaya karena banyak sekali manfaat yang bisa diperoleh berawal dari meja makan. Memang ada berbagai
macam cara untuk mengindahkan sebuah komunitas, mengedepankan suatu nilai
kekeluargaan dan menyalurkan berbagai keceriaan dan sukacita semangat misioner.
Akan tetapi salah satu yang saya bangunkan dan refleksikan ialah melalui
kebersamaan di meja makan. Di
meja makan inilah kami semua dapat menyalurkan “virus” pengharapan kepada yang
lain dalam menempuh perjalanan menjadi misionaris.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar