Rabu, 16 Januari 2019

SPIRITUALITAS MEJA MAKAN


SPIRITUALITAS MEJA MAKAN
(Azist Haryono)
“Makan masih tetap menjadi sesuatu yang lebih penting untuk menjaga fungsi-fungsi tubuh. Orang mungkin tidak mengerti apa ‘sesuatu yang lebih’ itu, tetapi mereka tetap ingin berhasrat untuk merayakannya. Mereka tetap lapar dan haus akan kehidupan sakramental”
( Norman Wirzba, Food and Faith: a Theology of Eating).

Meja makan itu diibaratkan sebagai teman yang mampu menampung curahan hati (curhat) setiap orang. Adakah yang tidak mengenal dan merasakan sentuhan betapa pengalaman di meja makan itu sangat berharga? Pengalaman ada bersama meja makan sungguh menarik untuk dihayati bahkan sampai seluruh meja tersebut terisi oleh berbagai kegiatan. Konteks untuk mengetahui keberadaan meja ini adalah sebuah gambaran berkaitan dengan kehidupan mengeluarga. Setiap keluarga tentu memiliki tempat yang khusus untuk menempatkan meja makan. Ada begitu banyak corak dan bentuk meja makan yang diinginkan oleh sebuah keluarga; ada yang bulat, lonjong, persegi pajang, dll. Semuanya ini menggambarkan bagaimana kehidupan keluarga itu dapat berjalan. Sebab, makanan yang tersedia di meja makan itu ialah kebutuhan mendasar bagi keberlangsungan hidup manusia.
Urusan makan memang kelihatan sederhana, terkesan hanya sebatas membicarakan urusan perut atau selera lidah bagi kebanyakan orang saat ini. Makan dan makanan sesungguhnya tidak hanya sekedar berurusan dengan jasmani, melainkan suatu bentuk yang indah untuk mengungkapkan bagaimana sebuah keluarga menyadari betapa pentingnya membangun suatu nilai kebersamaan di meja makan terutama membahas persoalan dalam keluarga tersebut. Selain itu, makna makan tersebut juga menjadi sebuah sarana untuk memuliakan Allah, menjalin relasi dengan Tuhan dan sesama, serta menjadi simbol dari kehadiran janji dan berkat Allah dalam kehidupan manusia.

Sejak ada dan berjalan bersama komunitas Xaverian, saya merasa pengalaman kebersamaan untuk memupuk persaudaraan itu sangat kental dan sungguh terasa serta salah satunya melalui “hidangan di meja makan.” Kami berasal dari berbagai latarbelakang  budaya, karakter, marga, logat, warna kulit, namun di dalamnya saya justru menemukan suatu keunikan dari perbedaan tersebut. Kami juga berasal dari daerah yang berbeda, ada yang berasal dari Jawa, Sumatera Utara, Padang, Flores, Italy, Timor, dan Bali. Kehadiran kami semua dalam komunitas Xaverian ini, didesak oleh suatu usaha dan cita-cita, yaitu menjadi imam misionaris. Meskipun terdapat banyak perbedaan diantara kami, hal itu bukan menjadi hambatan dalam berelasi. Apa yang mesti kami bangun untuk menjamin kebersamaan sebagai satu keluarga ini? Salah satunya melalui kebersamaan di meja makan.
Hampir semua pengalaman sederhana baik yang bersangkutan dengan komunitas, Gereja, kuliah, dan kerasulan dapat mensharingkannya bersama konfrater lain saat berhadapan dengan “meja makan”. Kehadiran di meja makan ini dianggap sebagai suatu menu tambahan yang tidak mengurangi kelezatanya dibandingkan masakan-masakan lainnya. Saya sendiri merefleksikan ketika telah melewati kebersamaan saat menyantap hidangan sebagai rahmat Tuhan di meja makan bahwa kadang-kadang di meja makan itu segala bentuk problem atau perasaan yang ngawur dapat didiskusikan atau dibagikan kepada teman semeja. Di sini saya menemukan sebuah solusi, dan solusinya sangat mengena dengan pengalaman di luar meja makan, mendengar suara orang yang sedang tertawa, melatih untuk mendengarkan orang lain serta berbagai cara untuk meningkatkan semangat kebersamaan sebagai satu keluarga. Ruangan yang disediakan untuk meja makan itu cukup luas dan strategis, karena selain mendengarkan pengalaman konfrater lain, kami juga dapat mendengar berbagai suara yang muncul dari jalan raya. Di dalam ruangan itu terdapat tiga deretan meja makan; meja bagian tengah adalah tempat untuk menyimpan makanan serta dua di sampingnya digunakan untuk menyantap hidangan. Kami berpapasan dengan meja makan setiap hari. Dari meja inilah kami “keluar” untuk menabur rahmat Tuhan yang indah itu.   
Menjadi satu keluarga, kehidupan bersama dapat menjadi ajang untuk berbagi rasa dalam kegembiraan dan kesusahan. Dalam kebersamaan itulah nampak pula kasih sayang antarsaudara yang dapat menjelma dalam perhatian yang konkret, baik itu melalui perkembangan maupun keunikannya sebagai seorang pribadi. Dalam hal ini semua berpartisipasi menumbuhkan semangat mengeluarga dan mengungkapkan dirinya dalam satu kesatuan sebagai komunitas, yaitu cinta kasih. Dalam pengharapan itu, mesti memiliki sikap dan antusias berbagi dalam segala hal seperti iman, pengalaman merasul, harapan, kegembiraan, keprihatinan, harta rohani serta semangat misioner.
Memang benar bahwa di dalam diri kami terdapat banyak perbedaan, akan tetapi di situ kami melatih diri untuk memahami yang lain karena setiap individu itu kami pandang sebagai saudara yang terbaik. Dengan menyadari hal itu, saya merasa unsur keterbukaan dan saling pengertian dapat dihayati oleh setiap konfrater. Untuk memperdalam rasa saling memahami sebagai satu keluarga, meja makan adalah suatu tempat kami untuk saling melengkapi kekayaan yang kami miliki dengan tujuan yang luhur, yaitu berbagi. Akan tetapi, saya justru menemukan suatu  keheranan dan tanda tanya di benak saya, yaitu mengapa pembicaraan di meja makan itu sangat mengasyikan? Adakah sumbangan khas yang berasal dari meja makan, atau ia mempunyai daya tarik untuk mengantar kami menemukan sukacita dan nilai persaudaraan? Atau mungkin meja itu dikategorikan sebagai “saksi” dan “pendengar yang dapat dipercaya? Dan, mengapa komunitas ini menyediakan ruangan khusus untuk meletakkan meja makan, mengapa juga keceriaan yang terjadi di meja makan berbeda dengan keceriaan di ruangan/tempat lain?
Semua pertanyaan yang mengalir ini tentu menggoncangkan perasaan saya. Meskipun demikian, satu hal yang mengantar saya untuk menemukan jawaban atas pertanyaan di meja makan, yaitu meja makan mempunyai power yang menggairahkan, berbagi, tumbuhnya semangat persaudaraan, saling meneguhkan, diskusi, mengucap syukur, berbagi suka-duka serta yang tak kalah nikmatnya ialah menghayati kemurahan hati Allah yang ada di atas wajah meja makan tersebut. Nampaknya ada satu semboyan yang mengikat relasi yang terjalin di meja itu. Sejauh ini saya sendiri merasa sangat bersukacita ketika kehadiran semua orang di meja makan menampakkan keceriaanya sendiri, baik yang kembali dari tempat kerasulan, kuliah, dan yang sedang menyusun skripsi di rumah. Satu hal yang sungguh mengikat ialah cita-cita untuk menjadi imam misionaris yang sama, karena kami dibentuk untuk mengedepankan semangat kekeluargaan, diantaranya melalui kehadiran di meja makan.
Meja makan adalah suatu titik temu favorit bagi sebuah keluarga. Ini merupakan tempat di mana terdapat rasa berbagi. Saat makan juga bisa menjadi ajang diskusi keluarga untuk memutuskan suatu tujuan  atau sekedar ngobrol tentang hal-hal yang ringan. Oleh karena itu, makan bersama sebagai satu keluarga sangatlah indah dan kaya karena banyak sekali manfaat yang bisa diperoleh  berawal dari meja makan. Memang ada berbagai macam cara untuk mengindahkan sebuah komunitas, mengedepankan suatu nilai kekeluargaan dan menyalurkan berbagai keceriaan dan sukacita semangat misioner. Akan tetapi salah satu yang saya bangunkan dan refleksikan ialah melalui kebersamaan di meja makan. Di meja makan inilah kami semua dapat menyalurkan “virus” pengharapan kepada yang lain dalam menempuh perjalanan menjadi misionaris.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Love Without Someone

  Karena waktuku yang terlalu lama,  ataukah kerinduan yang terlalu dalam  semua dirasakan pada tangisan  yang tak pantas untuk diukur. Hati...