Jumat, 15 Mei 2020

Mengunyah Hoaks a la Sofisme


Mengunyah Hoaks a la Sofisme
(Azist Haryono)
Pengantar
Foto di Parma
Berita merupakan suatu gagasan yang bersumber dari suatu peristiwa konkret dan dapat digali berdasarkan kebenaran. Ada begitu banyak kekayaan yang dimiliki dalam sebuah informasi yang memberikan argumen yang logis. Hal itu dimungkinkan karena suatu berita (news) yang termuat di media sosial mengandaikan dan mendefinisikan kebenaran sebuah informasi. Akan tetapi, informasi yang termuat dalam media sosial terkadang menjadi ajang untuk memberi “virus” dari sebuah berita palsu, berita ngalor-ngidul, yang tidak jelas sumber, isi, dan kebenarannya, atau yang sering disebut sebagai hoaks.
Untuk lebih mempererat bagaimana informasi, khususnya hoaks, beredar di masyarakat luas, saya akan menelaahnya melalui karya kaum Sofis tentang suatu cara berargumentasi yang berpijak pada suatu penampakan belaka, namun bukan pada kebenaran dari suatu realitas yang ada. Dalam dan melalui tulisan ini, saya bertujuan mengajukan dan mengkaitkannya dengan suatu gagasan tentang hoaks dengan tujuan memahami apa itu hoaks, hoaks dalam kaca mata Sofisme, serta menelaah isi sebuah hoaks dengan menata suatu kebenaran dari informasinya.


Menelaah Hoaks dan Isinya
            Hoaks adalah berita bohong. Dikatakan hoaks karena pemberitaan atau penyebarluasan informasinya tidak terdapat kesesuaian antara suatu peristiwa yang terjadi dan informasi yang disampaikan kepada pihak lain. Sering, hoaks dengan sengaja disebarluaskan melalui berbagai media informasi. Hoaks sengaja disebarluaskan untuk memperdaya dan membuat orang lain percaya, namun kesahihan informasinya tidak ternyatakan dalam kebenarannya. Saya memahaminya bahwa hoaks bertujuan mendapatkan kepuasan bagi si pemberita, namun hanya kepuasan semu.
Mungkinkah berkembangnya hoaks disebabkan karena setiap tanggal 1 April, akan diadakan hari omong kosong atau hari tipu? Atau mungkin juga karena adanya sebuah tradisi memperdaya orang lain dengan berbagai berita bohong sekadar untuk bahan lelucon. Namun, penggunaan hoaks ini disalahgunakan yang dampaknya bahkan dapat menggemparkan dunia. Sehingga, tidak jarang berita hoaks dapat mencemarkan nama baik seseorang atau golongan tertentu, tidak lagi lelucon semata.
            Seiring berkembangnya dunia informasi (media sosial), mempermudah kita memperoleh dan menyebarluaskan berbagai berita aktual ke seluruh dunia dengan sangat cepat. Namun, selain berguna untuk menyebarluaskan hal yang bersifat positif, ternyata media sosial juga disalahgunakan untuk menyebarluaskan berbagai berita bohong (hoaks) dan hal-hal negatif lainnya. Banjirnya info sesat dengan cepat melalui media sosial berkembang seperti angin topan. Berjayanya hoaks membuat kebanyakan orang kerepotan dalam mengklarifikasi sebuah info palsu, bahkan ada yang memanfaatkannya sebagai lahan bisnis.
            Hal ini diungkapkan oleh Sunudyantoro, dkk, bahwa “gejala ini bukanlah khas Indonesia. Kemenangan Donald Trump diduga tak terlepas dari info sesat yang masif. Dalam pencoblosan 8 November lalu, muncul berita Paus Fransiskus mendukung Trump. Ada pula kabar agen FBI yang menyelidiki kasus bocornya e-mail Hillary Clinton telah terbunuh. Dua berita yang sama sekali tidak benar. Namun, jutaan orang menyebarnya melalui facebook dan twitter. Ternyata berita bohong itu diracik sekelompok remaja tanggungan di Makedonia untuk meraup uang dari iklan.” (Tempo: Wabah Hoax, 2-8 Januari 2017. 25) Gambaran info sesat di atas menunjukkan bahwa kurangnya nilai dan edukasi untuk meningkatkan literasi media untuk mengecek sebuah informasi.

Fenomena Hoaks Diamati melalui Pendekatan Sofisme
            Kaum Sofis (450-380 SM) adalah para profesional yang dalam dialektikanya terlepas dari sebuah kenyataan yang ada tetapi mementingkan cara untuk memenangkan suatu argumen yang mempengaruhi orang lain. Dalam kepintaran yang dimilikinya, kaum Sofis menyatakan bahwa nilai moral hanyalah konvensi belaka, tetapi tidak nampak jelas. Sofisme nampak sebagai pengetahuan teknis (tekne), dengan kecerdikan yang teknis juga untuk memperoleh simpati. Kecakapan seni berargumentasi yang dilakukan kaum Sofis (pengajar kebijaksanaan) bertujuan untuk memperoleh imbalan yang pada gilirannya memunculkan pemahaman tentang relativisme kaum Sofis. Relativisme yang dimaksud ialah suatu pendirian bahwa baik-buruk dan benar-salahnya sesuatu tergantung atau terkait dengan pandangan yang bersangkutan.
            Bila ditinjau dari pemahaman baik-buruknya, benar-salahnya suatu pendirian yang dicapai untuk memperoleh pengetahuan yang benar, hoaks pada dasarnya tidak termasuk kategori sebuah informasi yang jelas karena dampaknya sangat dirasakan oleh masyarakat luas. Hoaks itu mengandaikan seperti yang diungkapkan oleh kaum Sofis sebuah pandangan yang nakal, dengan kehebatan mereka dalam seni berargumentasi (menyampaikan informasi) yang dianggap menghalalkan segala cara untuk memenangkan perkara, mendapat simpati masa, dituduh tidak mengupayakan kebenaran, cerewet, pintar bersilat-lidah tetapi tidak mendalam, tajam-pedas namun dangkal. (Simon P. L. Tjahtjadi: Petualangan Intelektual. Yogyakarta: Kanisius, 2004. Hlm 38)
            Memang pemikiran kaum Sofis selalu dikaitkan dengan sebuah retorika, yaitu suatu cara persuasif yang memberi argumen untuk meyakinkan orang lain tanpa realitas yang sesungguhnya. Dalam hal ini, hoaks juga mempunyai bahkan lebih dari suatu cara berargumen yang ngalor-ngidul tanpa tujuan yang jelas bahkan kesahihan sebuah fakta direngkuh. Konsepsi sofistik menundukkan pada kepentingan, keinginan dan moral bukanlah hal objektif untuk menjamin hubungan yang erat, melainkan berdasarkan suatu kehendak konsepsi. Dalam pendekatan metodis, kaum Sofis fokus dengan tidak sepenuhnya melulu berpusat pada pengalaman untuk menjalin nilai yang pantas, tetapi mengekspresikannya dengan membangkitkan emosi, simpati, atau kekaguman pendengarnya (aisthesis).
            Kaum Sofis mengilustrasikan pemikirannya sebagai suatu pendekatan yang menetapkannya pada pedoman pengajaran yang tersistem. Sumbangan terbesar kaum Sofis dalam merumuskan kriteria dasar individu nampak dalam pengetahuannya (paideia), keterampilan bernalar, fokus pada bahasa (rethoric), dan kejernihan pikiran dalam menyelidiki masalah dan menarik kesimpulannya. Dalam kaitannya dengan kriteria itu, fenomena hoaks yang berkembang di mata kita saat ini lebih dominan dipengaruhi oleh keinginan suatu kelompok untuk memeroleh keuntungan dan kepuasannya sendiri. Bagi kaum Sofis, yang terpenting adalah soal retorika, yaitu suatu kesuksesan untuk menyakinkan kebanyakan orang.
            Ilmu retorika yang diminati kaum Sofis menjadi sarana yang ampuh dengan memusatkan perhatian pada kemenangan dari sebuah argumen tanpa menilai kebenaran dari sebuah informasi. Bagi mereka, sebuah fakta dapat dibolak-balik dengan tidak mengindahkan kejernihan dan kematangan sebuah informasi. Ketidakbenaran informasi ini menjadi titik pangkal lahirnya sebuah hoaks, yaitu suatu peristiwa dilebih-lebihkan, adanya ketidaksesuaian teks dengan gambar dan isi berita, foto dari sebuah peritiwa lain diubah untuk mendukung isu yang sedang ramai dan hangat. Semuanya ini menggambarkan bagaimana berkembangnya hoaks di media sosial. Lalu bagaimana kita memerangi hal ini?

Kesimpulan
Hoaks adalah berita palsu, sesat, bohong, dan tidak akurat. Gencarnya fenomena hoaks yang sedang berkembang melaui medsos juga mampu membuat siapa pun dapat dengan mudah mengakses dan memproduksi sebuah informasi dengan sangat cepat. Perkembangan itu ditandai dengan maraknya sikap orang yang tidak bertanggung jawab terhadap penyampaian suatu informasi. Hal inilah, yang oleh kaum Sofis dipandang sebagai suatu retorika yang secara persuasif menaklukkan orang lain dengan tidak mengindahkan kebenaran suatu informasi.
Berita hoaks yang disebarluaskan memang ditujukan agar orang lain dengan mudah memercayai berita tersebut bahkan ikut menyebarkannya. Ironisnya, berbagai hoaks yang belum jelas sumber dan keabsahannya berisi tentang hal-hal besar yang menggemparkan dunia, tentang provokasi, dan kebohongan besar lainnya. Melaui sebuah retorika yang digunakan Sofisme, yang hanya meyakinkan orang lain tanpa memperhitungkan baik-benarnya suatu informasi. Realitas penikmat berita hanya sebatas penyampaian atas keyakinannya. Begitu juga yang terdapat dalam berita hoaks, yaitu suatu informasi yang melebih-lebihkan tanpa memedulikan keabsahan dan kebenaran dari sebuah fakta atau peristiwa.
Hoaks kini semakin meresahkan masyarakat. Bagaimana kita menangani problem ini? Lalu bagaimana juga kita mampu menjernihkan udara perkembangan masyarakat untuk tidak terjerumus pada keangkuhan pemberita hoaks? Sekurang-kurangnya kita memiliki suatu komitmen untuk bangkit melawan gelombang berita palsu dalam media sosial dengan mengadakan berbagai gerakan sosial anti hoaks, edukasi pada generasi muda tentang masalah dan perkembangan media sosial.


Sumber:
Tjahjadi, Simon Petrus L. Petualangan Intelektual. Yogyakarta: Kanisius, 2004.
Tempo: Wabah Hoax 2-8 Januari 2017.
Wibowo, A. Setyo - Haryanto Cahyadi. Mendidik Pemimpin dan Negarawan. Yogyakarta: lamalera, 2014.
Wibowo, A. Setyo. Arete: Hidup Sukses Menurut Platon. Yogyakarta: Kanisius, 2010.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Love Without Someone

  Karena waktuku yang terlalu lama,  ataukah kerinduan yang terlalu dalam  semua dirasakan pada tangisan  yang tak pantas untuk diukur. Hati...