Mengunyah
Hoaks a la Sofisme
(Azist
Haryono)
Pengantar
Foto di Parma |
Berita merupakan suatu
gagasan yang bersumber dari suatu peristiwa konkret dan dapat digali
berdasarkan kebenaran. Ada begitu banyak kekayaan yang dimiliki dalam sebuah
informasi yang memberikan argumen yang logis. Hal itu dimungkinkan karena suatu
berita (news) yang termuat di media sosial mengandaikan dan
mendefinisikan kebenaran sebuah informasi. Akan tetapi, informasi yang termuat
dalam media sosial terkadang menjadi ajang untuk memberi “virus” dari sebuah
berita palsu, berita ngalor-ngidul, yang tidak jelas sumber, isi, dan
kebenarannya, atau yang sering disebut sebagai hoaks.
Untuk lebih mempererat
bagaimana informasi, khususnya hoaks, beredar di masyarakat
luas, saya akan menelaahnya melalui karya kaum Sofis tentang suatu cara
berargumentasi yang berpijak pada suatu penampakan belaka, namun bukan pada
kebenaran dari suatu realitas yang ada. Dalam dan melalui tulisan ini, saya
bertujuan mengajukan dan mengkaitkannya dengan suatu gagasan tentang hoaks dengan
tujuan memahami apa itu hoaks, hoaks dalam kaca mata Sofisme,
serta menelaah isi sebuah hoaks dengan menata suatu kebenaran dari
informasinya.
Menelaah Hoaks dan
Isinya
Hoaks adalah
berita bohong. Dikatakan hoaks karena pemberitaan atau penyebarluasan
informasinya tidak terdapat kesesuaian antara suatu peristiwa yang terjadi dan
informasi yang disampaikan kepada pihak lain. Sering, hoaks dengan
sengaja disebarluaskan melalui berbagai media informasi. Hoaks sengaja
disebarluaskan untuk memperdaya dan membuat orang lain percaya, namun
kesahihan informasinya tidak ternyatakan dalam kebenarannya. Saya memahaminya
bahwa hoaks bertujuan mendapatkan kepuasan bagi si pemberita, namun
hanya kepuasan semu.
Mungkinkah
berkembangnya hoaks disebabkan karena setiap tanggal 1 April, akan
diadakan hari omong kosong atau hari tipu? Atau mungkin juga karena adanya
sebuah tradisi memperdaya orang lain dengan berbagai berita bohong sekadar
untuk bahan lelucon. Namun, penggunaan hoaks ini disalahgunakan yang
dampaknya bahkan dapat menggemparkan dunia. Sehingga, tidak jarang berita hoaks dapat
mencemarkan nama baik seseorang atau golongan tertentu, tidak lagi lelucon
semata.
Seiring
berkembangnya dunia informasi (media sosial), mempermudah kita memperoleh dan menyebarluaskan berbagai
berita aktual ke seluruh dunia dengan sangat cepat. Namun, selain berguna
untuk menyebarluaskan hal yang bersifat positif, ternyata media sosial
juga disalahgunakan untuk menyebarluaskan berbagai berita bohong (hoaks)
dan hal-hal negatif lainnya. Banjirnya info sesat dengan cepat melalui
media sosial berkembang seperti angin topan. Berjayanya hoaks membuat
kebanyakan orang kerepotan dalam mengklarifikasi sebuah info palsu, bahkan ada
yang memanfaatkannya sebagai lahan bisnis.
Hal
ini diungkapkan oleh Sunudyantoro, dkk, bahwa “gejala ini bukanlah khas
Indonesia. Kemenangan Donald Trump diduga tak terlepas dari info sesat yang
masif. Dalam pencoblosan 8 November lalu, muncul berita Paus Fransiskus mendukung
Trump. Ada pula kabar agen FBI yang menyelidiki kasus bocornya e-mail Hillary
Clinton telah terbunuh. Dua berita yang sama sekali tidak benar. Namun, jutaan
orang menyebarnya melalui facebook dan twitter. Ternyata berita bohong itu
diracik sekelompok remaja tanggungan di Makedonia untuk meraup uang dari
iklan.” (Tempo: Wabah Hoax, 2-8 Januari 2017. 25) Gambaran info sesat di
atas menunjukkan bahwa kurangnya nilai dan edukasi untuk meningkatkan literasi
media untuk mengecek sebuah informasi.
Fenomena Hoaks Diamati
melalui Pendekatan Sofisme
Kaum
Sofis (450-380 SM) adalah para profesional yang dalam dialektikanya terlepas
dari sebuah kenyataan yang ada tetapi mementingkan cara untuk memenangkan suatu
argumen yang mempengaruhi orang lain. Dalam kepintaran yang dimilikinya, kaum
Sofis menyatakan bahwa nilai moral hanyalah konvensi belaka, tetapi tidak
nampak jelas. Sofisme nampak sebagai pengetahuan teknis (tekne), dengan
kecerdikan yang teknis juga untuk memperoleh simpati. Kecakapan seni
berargumentasi yang dilakukan kaum Sofis (pengajar kebijaksanaan) bertujuan
untuk memperoleh imbalan yang pada gilirannya memunculkan pemahaman tentang
relativisme kaum Sofis. Relativisme yang dimaksud ialah suatu pendirian bahwa
baik-buruk dan benar-salahnya sesuatu tergantung atau terkait dengan pandangan
yang bersangkutan.
Bila
ditinjau dari pemahaman baik-buruknya, benar-salahnya suatu pendirian yang
dicapai untuk memperoleh pengetahuan yang benar, hoaks pada dasarnya
tidak termasuk kategori sebuah informasi yang jelas karena dampaknya
sangat dirasakan oleh masyarakat luas. Hoaks itu mengandaikan seperti yang
diungkapkan oleh kaum Sofis sebuah pandangan yang nakal, dengan kehebatan
mereka dalam seni berargumentasi (menyampaikan informasi) yang dianggap
menghalalkan segala cara untuk memenangkan perkara, mendapat simpati masa,
dituduh tidak mengupayakan kebenaran, cerewet, pintar bersilat-lidah tetapi tidak
mendalam, tajam-pedas namun dangkal. (Simon P. L. Tjahtjadi: Petualangan
Intelektual. Yogyakarta: Kanisius, 2004. Hlm 38)
Memang
pemikiran kaum Sofis selalu dikaitkan dengan sebuah retorika, yaitu suatu cara
persuasif yang memberi argumen untuk meyakinkan orang lain tanpa
realitas yang sesungguhnya. Dalam hal ini, hoaks juga mempunyai bahkan
lebih dari suatu cara berargumen yang ngalor-ngidul tanpa tujuan yang
jelas bahkan kesahihan sebuah fakta direngkuh. Konsepsi sofistik
menundukkan pada kepentingan, keinginan dan moral bukanlah hal objektif untuk
menjamin hubungan yang erat, melainkan berdasarkan suatu kehendak konsepsi. Dalam
pendekatan metodis, kaum Sofis fokus dengan tidak sepenuhnya melulu berpusat
pada pengalaman untuk menjalin nilai yang pantas, tetapi mengekspresikannya
dengan membangkitkan emosi, simpati, atau kekaguman pendengarnya (aisthesis).
Kaum
Sofis mengilustrasikan pemikirannya sebagai suatu pendekatan yang menetapkannya
pada pedoman pengajaran yang tersistem. Sumbangan terbesar kaum Sofis dalam
merumuskan kriteria dasar individu nampak dalam pengetahuannya (paideia),
keterampilan bernalar, fokus pada bahasa (rethoric), dan kejernihan
pikiran dalam menyelidiki masalah dan menarik kesimpulannya. Dalam kaitannya
dengan kriteria itu, fenomena hoaks yang berkembang di mata kita saat
ini lebih dominan dipengaruhi oleh keinginan suatu kelompok untuk memeroleh
keuntungan dan kepuasannya sendiri. Bagi kaum Sofis, yang terpenting adalah
soal retorika, yaitu suatu kesuksesan untuk menyakinkan kebanyakan orang.
Ilmu
retorika yang diminati kaum Sofis menjadi sarana yang ampuh dengan memusatkan
perhatian pada kemenangan dari sebuah argumen tanpa menilai kebenaran dari
sebuah informasi. Bagi mereka, sebuah fakta dapat dibolak-balik dengan tidak
mengindahkan kejernihan dan kematangan sebuah informasi. Ketidakbenaran
informasi ini menjadi titik pangkal lahirnya sebuah hoaks, yaitu suatu
peristiwa dilebih-lebihkan, adanya ketidaksesuaian teks dengan gambar dan isi
berita, foto dari sebuah peritiwa lain diubah untuk mendukung isu yang sedang
ramai dan hangat. Semuanya ini menggambarkan bagaimana berkembangnya hoaks di
media sosial. Lalu bagaimana kita memerangi hal ini?
Kesimpulan
Hoaks adalah berita
palsu, sesat, bohong, dan tidak akurat. Gencarnya fenomena hoaks yang sedang
berkembang melaui medsos juga mampu membuat siapa pun dapat dengan mudah
mengakses dan memproduksi sebuah informasi dengan sangat cepat. Perkembangan
itu ditandai dengan maraknya sikap orang yang tidak bertanggung jawab terhadap
penyampaian suatu informasi. Hal inilah, yang oleh kaum Sofis dipandang sebagai
suatu retorika yang secara persuasif menaklukkan orang lain dengan tidak
mengindahkan kebenaran suatu informasi.
Berita hoaks yang
disebarluaskan memang ditujukan agar orang lain dengan mudah memercayai berita
tersebut bahkan ikut menyebarkannya. Ironisnya, berbagai hoaks yang
belum jelas sumber dan keabsahannya berisi tentang hal-hal besar yang
menggemparkan dunia, tentang provokasi, dan kebohongan besar
lainnya. Melaui sebuah retorika yang digunakan Sofisme, yang hanya
meyakinkan orang lain tanpa memperhitungkan baik-benarnya suatu informasi.
Realitas penikmat berita hanya sebatas penyampaian atas keyakinannya. Begitu
juga yang terdapat dalam berita hoaks, yaitu suatu informasi yang
melebih-lebihkan tanpa memedulikan keabsahan dan kebenaran dari sebuah fakta
atau peristiwa.
Hoaks kini semakin
meresahkan masyarakat. Bagaimana kita menangani problem ini? Lalu bagaimana
juga kita mampu menjernihkan udara perkembangan masyarakat untuk tidak
terjerumus pada keangkuhan pemberita hoaks? Sekurang-kurangnya kita
memiliki suatu komitmen untuk bangkit melawan gelombang berita palsu dalam
media sosial dengan mengadakan berbagai gerakan sosial anti hoaks, edukasi
pada generasi muda tentang masalah dan perkembangan media sosial.
Sumber:
Tjahjadi, Simon Petrus
L. Petualangan Intelektual. Yogyakarta: Kanisius, 2004.
Tempo: Wabah Hoax 2-8
Januari 2017.
Wibowo,
A. Setyo - Haryanto Cahyadi. Mendidik Pemimpin dan Negarawan. Yogyakarta:
lamalera, 2014.
Wibowo, A. Setyo. Arete:
Hidup Sukses Menurut Platon. Yogyakarta: Kanisius, 2010.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar